Cerita tentang Lahilote tentunya sangat menarik
untuk diulas dan dibahas. Mungkin sebagian besar masyarakat Gorontalo saat ini,
mulai lupa bahwa kisah tentang Lahilote pernah ada di tanah Gorontalo. Cerita
seperti ini tentunya harus dilestarikan. Guna menambah
wawasan dan inspirasi agar nilai nilai budaya yang ada tidak akan lenyap ditelan waktu.
Nih.. Awal Ceritanya gan.., Santai Membacanya dan dihayati..........
Pada jaman dahulu kala hiduplah seorang laki-laki yang
bernama Lahilote. Pria yang kesehariannya bekerja sebagai pencari kayu dan
rotan di tepi hutan tersebut, hidup sebatang kara. Setiap pagi sampai petang,
Lahilote keluar masuk hutan. Hal ini dilakukannya untuk menghidupi dirinya.
Tinggal seorang diri di hutan tidak membuat lahilote takut. Hutan sudah menjadi
teman dan sahabat baginya. Namun disuatu pagi ada yang aneh bagi Lahilote. Dari
kejauhan, Lahilote mendengar suara manusia yang berisik dari sebuah telaga di
tepi hutan.
Saking penasarannya, Lahilote mendekati sumber suara tersebut. Lahilote yakin
ini adalah suara manusia, karena kadang suara-suara tersebut melemah, kadang bersuara
keras. Dari tempat yang jauh dan terlindung dari pohon besar maka Lahilote
mengintip, suara apa yang ada di telaga. Antara percaya atau tidak, Lahilote
melihat bahwa suara yang didengarnya tersebut adalah suara dari ketujuh bidadari
yang sedang mandi di telaga tersebut.
Lahilote seakan tidak percaya, karena
selama ini telaga yang ada di tepi hutan tersebut, tidak pernah didatangi oleh
manusia maupun para bidadari. Ketujuh bidadari yang sedang mandi ini, tidak
mengetahui kehadiran Lahilote ditempat tersebut. Para bidadari lebih menikmati
keseruan mereka yang mandi ditelaga. Setelah beberapa saat, para bidadari ini segera
terbang menuju khayangan. Dengan melihat pemandangan ini maka Lahilote
berkesimpulan bahwa, apa yang dilihatnya merupakan para bidadari yang turun
dari khayangan. Dengan mengetahui bahwa para bidadari ini sering mendatangi
telaga tersebut, maka Lahilote setiap saat mendatangi telaga tersebut. Lahilote
ingin memastikan kapan para bidadari ini turun lagi ke telaga. Oleh karenanya
hamper setiap saat Lahilote datang ke telaga. Hari yang dinantikan oleh Lahilote pun
akhirnya datang. Tepat hari ketujuh, Lahilote melihat dari arah langit ada
tujuh buah titik putih terbang menuju telaga. Lahilote bergegas untuk
bersembunyi dibalik bebatuan dekat telaga. Ia yakin ketujuh titik putih
tersebut merupaakan bidadari yang ingin mandi ditelaga. Tidak menunggu lama,
ketujuh bidadari ini sampai ditepi telaga. Satu persatu dari mereka mulai
menceburkan diri sambil bermain air. Lahilote yang sedang mengintip mulai
dihinggapi rasa penasaran. Dalam benaknya timbul perasaan cinta dan ingin
mempersunting salah satu dari bidadari tersebut. Berbekal ilmu dan punya
kesaktian tinggi maka Lahilote berhasil mencuri salah satu sayap bidadari,
tanpa mereka ketahui. Setelah mendapatkan salah satu sayap bidadari, Lahilote
bergegas pulang kerumah didalam hutan. Sayap bidadari, Ia sembunyikan dalam
sebuah lumbung padi. Setelah menyembunyikan sayap tersebut, Lahilote pun kembali
ke telaga tempat para bidadari yang sedang mandi. Dan betapa girangnya hati
Lahilote, bahwa sang bidadari yang kehilangan satu sayapnya tidak bisa kembali
ke khayangan. Bidadari tersebut telah ditinggalkan oleh bidadari lainnya.
Lahilote pun mendekati sang bidadari
yang sedang menangis ditepi telaga. Berbekal niat tulus dan ingin membantu sang
bidadari, Lahilote mengajak bidadari menuju kerumah Lahilote yang tidak jauh
dari telaga. Seiring waktu berjalan, Lahilote dan sang bidadari ini melahirkan
rasa saling sayang dan menyayangi. Dan pada suatu waktu, mereka berdua
melangsung perkawinan. Waktu demi waktu mereka lalui dengan kebahagiaan. Lahilote
setiap harinya bercocok tanam dan berburu dan sang bidadari membantu Lahilote
dalam kegiatannya. Pekerjaan yang dilakukan oleh sang bidadari tentunya sangat
berat, karena dunia antara Lahilote dengan dunia khayangan berbeda jauh. Sang bidadari pun menggunakan
kesaktiannya sebagai putri kayangan. Ia dapat memasak dengan satu butir padi
bisa mencukupi mereka berdua.
Pada suatu hari, dalam benak Lahilote
muncul pemikiran lain. Lahilote berpikir lumbung padi mereka tidak pernah
habis, padahal setiap harinya mereka masak dan makan bersama. Bahkan Lahilote
belum pernah melihat istrinya menumbuk padi ketika akan memasak. Oleh karenanya
timbul dalam pikirannya untuk mengamati keadaan istrinya dalam kesehariannya. Pada
suatu hari, Istri Lahilote sedang menanak nasi diatas tungku. Periuk nasi
tersebut diisi dengan sebutir padi kemudian ditutupinya.
Sambil menunggu masak, istri Lahilote pergi
kesumur untuk mencuci pakaian. Kemudian Lahilote pun masuk ke dapur dan
memeriksa periuk tersebut. Alangkah terkejutnya Lahilote melihat isinya.
Hanyalah sebutir padi terendam di dalam air. Tahulah Ia akan rahasia isterinya.
Selesai mencuci pakaian, sang istri masuk ke dapur memeriksa nasi yang di
masaknya. Ketika periuk tersebut dilihatnya masih tetap sebutir padi. Sang
istri tetap menunggu sampai sebutir padi ini bisa menjadi nasi. Namun hingga
beberapa saat padi tersebut tidak berubah. Dalam benaknya, Ia mulai curiga
bahwa periuk nasi ini telah dilihat oleh sang suami, Lahilote.
Seiring berjalannya waktu, padi yang
ada dilumbung mulai habis, dan pada saat terakhir sang bidadari mengambil beras
terakhir, maka nampaklah sayapnya yang dulu hilang. Dengan melihat sayapnya
ini, maka sang bidadari yang menjadi istri Lahilote tersebut merahasiakan hal ini.
Untuk mengelabui Lahilote, sang bidadari meminta Lahilote untuk mencarikan ikan
dilaut. Kesempatan ini digunakan oleh sang bidadari untuk memperbaiki sayapnya
yang sebagian mulai rusak. Selesai memperbaiki sayapnya maka sang bidadari
bersiap untuk terbang ke khayangan. Sebelum terbang maka sang bidadari menemui
lumbung padi tempat penyimpanan sayapnya selama ini. Ia berkata “Wahai lumbung,
jangan sekali-kali memberi tahu suamiku, bahwa sayapku yang engkau simpan telah
aku ambil”. Setelah itu, sang bidadari mulai memohon pamit kepada semua parabot
rumah, menemui seluruh tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan yang ada disekitar rumah.
Pada saat itu, sang bidadari melewatkan permononan pamitnya pada salah satu
tumbuhan yakni pohon rotan dalam bahasa Gorontalo (Hutia Mala). Usai memohon
restu tersebut, maka terbanglah sang bidadari ke khayangan. Namun sebelum
menuju khayangan, sang bidadari menyempatkan diri untuk melihat Lahilote yang
tengah memancing ikan di lautan. Pada saat itu, Lahilote sedang tertidur nyenyak
di sebuah pantai. Sang bidadari kemudian meludahi Lahilote dengan air sirih
pinang atau (Luwa Lo Pomama). Air sirih tersebut jatuh tepat ke dada Lahilote. Ia
pun terbangun dan mulai merasakan ada sesuatu yang terjadi pada istrinya. Lahilote
telah yakin bahwa istrinya telah menemukan sayapnya dan pergi meninggalkannya. Lahilote
pun bergegas kerumahnya. Selama dalam perjalanan, Lahilote bertanya kepada setiap
benda yang dilaluinya dan menanyakan apakah melihat istrinya. Namun semua benda
dan tumbuhan tidak menjawab pertanyaan ini.
Dengan hati kecewa Lahilote terus
mencari jejak isterinya. Ia bertemu dengan pohon rotan (Hutia Mala) dan berkata “Wahai Hutia Mala (Pohon Rotan)
tidakkah engkau melihat istriku?? Hutia Mala menjawab, Lahilote, Istrimu telah
kembali ke khayangan. Dan jika engkau ingin ke khayangan maka penuhi tiga
syarat dariku. Dengan niat ingin menemukan istrinya, maka ketiga syarat itupun
dipenuhi, dan akhirnya Hutia Mala mengantar Lahilote menuju Khayangan. Sesampainya
di kayangan, Lahilote melihat gadis-gadis yang sama cantiknya dengan isterinya.
Sehingga sulit untuknya mencari isterinya diantara gadis-gadis itu. Namun
diantara gadis yang ada tersebut Lahilote yakin dan percaya pada salah satu
gadis yang dikenalnya selama ini. Setelah Lahilote mengajaknya pulang, maka
sang istri menolak dan mengakui bahwa Lahilote adalah suaminya. Dengan
pengakuan ini maka Lahilote tetap berkeras untuk menjagak istrinya turun ke
bumi. Akhirnya kesepakatan pun dilahirkan yakni Lahilote akan diakuinya sebagai
suaminya jika tinggal dan menetap di khayangan.
Selama bertahun-tahun tinggal di khayangan,
rambut Lahilote pun mulai beruban. Kayangan merupakan kehidupan abadi. Bidadari
yang tinggal dikhayangan tidak pernah tua maupun beruban, oleh karenanya jika
ada yang beruban tinggal di kayangan maka akan dilemparkan ke Bumi. Tumbuhnya
uban di kepala Lahilote telah diketahui oleh sang istri. Lahilote pun berkata,
“Kalau begitu, cabutlah ubanku ini dan bakarlah” Namun sang istri menolak
dengan alasan ini akan lebih berbahaya, para bidadari di kayangan akan mencium baunya.
Jalan satu-satunya untuk pergi ke bumi kata sang istri adalah dengan
menyambungkan rambut sang istri untuk dijadikan tangga oleh Lahilote turun ke
bumi. Namun belum sampai ke bumi, rambut sang istri telah habis disambung-sambungkan.
Pada saat itu Lahilote masih melayang-layang di antara langit dan bumi, Ia dihempas-hempaskan
oleh angin ke seluruh penjuru mata angin. Dan akhirnya rambut sang istri tersebut
putus dan Lahilote terjatuh ke bumi. Jatuhnya Lahilote ke bumi terbelah dua. Tubuh kanannya jatuh di
Kelurahan Pohe Kota Gorontalo dan berbekas disalah satu batu yang ada di
pinggir pantai tersebut, sedangkan tubuh sebelah kirinya jatuh di daerah
Bualemo, Provinsi Sulawesi Tengah, dengan meninggalkan telapak kakinya di sana.
Bekas telapak kaki Lahilote yang terdapat didua tempat ini disebut masyarakat
Gorontalo adalah Botu Liodu.(Nugie)