Pages

Banner 468 x 60px

Tuesday, January 31, 2017

Tradisi Malam Tumbilotohe

0 komentar

Ada yang menarik dilakukan masyarakat Gorontalo pada malam 27 pada bulan Ramadhan atau 4 hari sebelum lebaran Idul Fitri dilaksanakan. Seluruh masyarakat Gorontalo pada malam tersebut akan melakukan tradisi malam pasang lampu atau dalam bahasa daerah Gorontalo, Tumbilotohe.  Terlepas dari tradisi Tumbilotohe yang fenomenal, ada makna penting yang tersirat pada tradisi ini. Tumbilotohe kental dengan semangat Islami masyarakat Gorontalo. Hal ini juga menjadi pertanda dimulainya pengumpulan zakat fitrah, juga dimaknai dengan penyambutan malam Lailatul Qadar. Ribuan lampu-lampu akan dinyalakan usai sholat Maghrib hingga menjelang Subuh. Saat itu, setiap keluarga wajib memasang lampu minyak di depan rumah, bahkan ada yang mendirikan gapura dengan berhiaskan beraneka bunga dan lampu minyak tanah. Biasanya jumlah lampu minyak yang dipasang bervariasi sesuai jumlah anggota keluarganya.

Memaknai dan menginterpretasikan malam pasang lampu (Tumbilotohe) bagi masyarakat Gorontalo antara lain bahwa Tumbilotohe dapat dimaknai sebagai sesuatu yang terang, memberi manfaat dan menyalakan semangat keislaman masyarakat Gorontalo. Kemudian diingatkan tentang keharusan atau kewajiban mengeluarkan zakat serta masyarakat diingatkan soal ramadhan yang akan berakhir. Tumbilotohe berasal dari bahasa Gorontalo, yaitu Tumbilo berarti Pasang, dan Tohe berarti Lampu. Tumbilotohe diartikan sebagai kegiatan pasang lampu. Tradisi ini sudah berlangsung sejak abad 15. Saat itu tradisi ini dilaksanakan setiap 3 malam terakhir menjelang hari Raya Idul Fitri, yaitu tanggal 27 hingga 30 Ramadhan. Pada awalnya lampu penerangan yang digunakan masyarakat pada malam Tumbilotohe dilakukan secara tradisional yakni lampu yang dibuat dari pelepah kelapa atau dalam bahasa Gorontalo “Wamuta”. Kemudian ada juga yang menggunakan damar atau semacam getah padat yang kemudian dibakar atau “Tohetutu”. Namun seiring perkembangan jaman, penerangan yang bersipat tradisional ini mulai hilang dan oleh masyarakat saat ini diganti dengan lampu botol dengan bahan baku utama minyak tanah. Bahkan ada yang memodifikasi dengan penerangan dengan menggunakan lampu listrik.

Saat perayaan Malam Tumbilotohe, masyarakat Gorontalo menyalakan lampu secara sukarela. Lampu-lampu penerangan dari berbagai jenis dan bentuk tidak hanya menerangi halaman rumah tetapi juga menerangi halaman masjid, perkantoran, lapangan hingga areal persawahan. Ribuan Lampu yang dinyalakan secara serentak ini, ada yang menggambarkan sebuah menara masjid sampai dengan kaligrafi.

Namun pada umumnya, masyarakat memakai kerangka kayu (Alikusu) dan bamboo yang dipatok didepan rumah masing-masing (Tonggoloopo) yang  dihiasi dengan janur kuning. Oleh pemerintah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten/Kota, sejak beberapa tahun belakangan tumbilotohe dibuat se semarak mungkin bahkan dibalut dengan kegiatan festival tumbilotohe. Perayaan Malam Tumbilotohe memberi makna sebagai penerangan bagi umat Muslim yang ingin beribadah ke masjid dan beribadah untuk mendapatkan malam Lailatul Qadar. Saat malam Lailatul Qadar, orang-orang berbondong-bondong ke masjid untuk mendengarkan ceramah demi mendapatkan pencerahan yang diidentikan dengan lampu-lampu yang dipasangi untuk penerangan. Pemasangan lampu itu mengingatkan bahwa kitab suci Alquran membawa jalan terang bagi umat manusia agar kembali hidup dalam kebenaran sekaligus menerangi orang-orang yang berada di sekitarnya. Bagi anda yang penasaran dengan ribuan mata lampu yang menerangi Gorontalo pada malam tanggal 27 sampai 30 ramadhan, maka tidak ada salahnya datang dan berkunjung ke Gorontalo. (Nugie)

0 komentar:

Post a Comment