Mendengar kata Dayango, tiba-tiba bulu kuduk langsung merinding. Pasalnya, tarian tradisional khas Gorontalo itu kerap diartikan sebagai tarian 'pemanggilan' roh para leluhur. Biasanya, Dayango digelar selama sepekan, dengan maksud dan tujuan untuk 'memperbaiki' suatu kampung dari berbagai macam bala (malapetaka). Bala yang dimaksud, diantaranya wabah penyakit, hingga musim maupun cuaca yang mengakibatkan kesulitan ekonomi bagi masyarakat. Di era modernisasi saat ini, tarian Dayango mulai tertinggal. Hanya di beberapa tempat saja, tarian Dayango masih kerap digelar. Salah satunya di Desa Tenilo Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo.
Suasana Desa Tenilo di Kecamatan Tilamuta tiba-tiba saja ramai oleh berbagai elemen masyarakat. Mereka berkumpul di lokasi yang tak jauh dari pantai. Ditengah kemurumunan, terlihat suatu tempat yang dipagari dengan janur kuning. Saat mendekati tempat tersebut, nampak berbagai macam sesajian, mulai dari ayam bakar yang masih lengkap bagian tubuhnya, telur, nasi, sayur-sayuran hingga air yang ditampung dalam wadah. Bagi masyarakat Desa Tenilo, itu merupakan 'sesajen' bagi para roh leluhur yang memenuhi panggilan ataupun undangan dari Wombuwa (pawang). Saat matahari terbenam di ufuk barat, suara nyaring pun terdengar. Teriakan lantang Wombuwa, sembari memanggil roh leluhur terdengar jelas. Sesaat keheningan pun terasa. Seluruh mata terpaku menatap sang Wombuwa bersama sejumlah orang yang terlibat dalam ritual Dayango. Tak lama, 5 sampai 7 orang yang mengenakan pakaian merah mulai menari-nari. "Nah, kalau sudah menari begitu berarti sudah kemasukan (kerasukan) roh leluhur," kata salah seorang warga. Ada pemandangan menarik yang terlihat pada saat itu. Masyarakat yang menyaksikan pagelaran Dayango tersebut, berbondong-bondong menghampiri para penari. Mereka mengantri untuk dibasuh dan dijamah oleh penari yang sudah 'kemasukan roh' tersebut. Kabarnya, mereka tengah menjalani prosesi penyembuhan melalui ritual Dayango. Kepala Desa Tenilo Rafly Biya mengatakan, Dayango dipercaya oleh masyarakat sebagai proses untuk menolak bala (malapetaka) dan 'memperbaiki' kampung. "Biasanya, ada orang sakit yang tidak bisa ditangani melalui medis, mereka memilih prosesi Dayango. Mereka akan percaya sembuh," ujar Rafly. Selain itu, Dayango juga dilakukan untuk 'memperbaiki' kampung, khususnya di kala musim kemarau tengah berlangsung. Masyarakat berkeyakinan, melalui prosesi Dayango maka tidak akan lama lagi akan turun hujan. "Tetapi pada prinsipnya, tarian Dayango ini merupakan warisan budaya leluhur yang akan terus dilestarikan," Dayango hanyalah sebuah budaya lokal yang diwarisi oleh leluhur, bukan sebagai media untuk meminta kesembuhan ataupun meminta turun hujan. (Nugie)
2 komentar:
mantap bro.. nice artikel
MantaPPP...
Post a Comment